Friday, October 12, 2007

Tafsir Psikoanalisa untuk Gus Dur

Berpolitik.com, Kamis, 09 Nopember 2000, @22:38 WIB

Buni Yani
Mahasiswa Pascasarjana International Studies, Ohio University, AS

Bila ada kuis yang menanyakan siapa presiden kita yang paling lucu, mungkin hampir semua akan menjawab secara serentak, yaitu presiden ke-4 Abdurrahman Wahid. Gus Dur tidak saja pintar membuat joke atau lelucon, tetapi juga gemar tertawa. Kepribadian Gus Dur tak berubah walaupun kini ia menjadi pusat perhatian, tidak saja oleh masyarakat Indonesia, tetapi juga oleh masyarakat internasional.

Bercanda dan tertawa bukanlah soal etiket atau sopan-santun bergaul baginya. Ia bisa melakukannya di mana saja. Tidak saja di banyak pertemuan tak resmi, melainkan juga di pertemuan seberwibawa DPR. Dan Gus Dur bukannya tidak tahu akan kepribadiannya itu, ia bahkan sangat menyadarinya.

Ketika Universitas Bung Karno (UBK) menganugerahinya gelar Doktro Honoris Causa karena prestasi-prestasinya, dengan berkelakar Gus Dur mengatakan, sebetulnya ia lebih pantas menerima Doktor Humoris Causa.

Bagi lawan-lawan politiknya, kepribadian Gus Dur ini tentu saja bisa menjadi makanan empuk untuk diplintir dan dimanipulasi. Suara miring selalu terdengar mengenai kinerja pemerintahannya yang penuh angka merah. Padahal ia sering tampil penuh guyon, santai, dan serba enteng, seolah tak ada masalah. Ekspresi “gitu aja kok repot” tidak saja banyak ditiru oleh para politisi, tetapi juga oleh para aktivis yang anti kepadanya.

Majalah Tempo pernah memuat cover story yang tak kalah pedas, judulnya Banyak Bercanda Kisruh Bekerja. Dalam artikel yang terdiri dari laporan dan tajuk ini, hampir tak ada pujian bagi prestasi Gus Dur. Isinya penuh kritik, terutama karena ketidakmampuannya memulihkan keadaan negara yang dalam keadaan morat-marit.

Adakah dasar pemikiran yang bisa menjelaskan mengapa orang menyukai humor dan gemar tertawa?

Pendiri psikoanalisa Sigmund Freud pernah menulis suatu naskah berjudul Jokes and Their Relation to the Unconscious (1905). Dalam tulisannya ini Freud mengatakan bahwa dorongan-dorongan seksual yang kuat dan dirasakan sebagai hal yang memalukan dilepaskan lewat tingkah laku bercanda. Energi instingtual yang tertahan, tersalurkan lewat tawa (Hjelle dan Ziegler 1981:57).

Freud juga percaya bahwa kenikmatan yang didapatkan lewat tawa bergantung pada pengurangan secara seketika ketegangan-ketegangan atau kecemasan dalam diri seseorang. Jadi, ada korelasi antara kenikmatan yang didapatkan lewat tawa dan hilangnya tingkat ketegangan atau kecemasan.

Bahwa Gus Dur merasa tegang dan cemas tentu bisa dipahami, karena ia menakhodai sebuah kapal dengan penumpang 210 juta rakyat Indonesia. Salah memutar kemudi, kapal bisa oleng dan karam. Dan kecemasannya ini telah terbukti dengan “kejam”nya sebagian anggota MPR yang mempertanyakan apakah ia masih mampu mengurus negara pada Sidang Tahunan yang baru lalu.

Namun satu hal yang amat mencolok bila mengikuti pemikiran psikoanalisa ini adalah pembawaan Gus Dur yang amat tegang dan cemas yang berkait dengan dorongan bercandanya yang besar untuk mendapatkan kenikmatan. Atau sederhananya, Gus Dur memerlukan guyon dan lelucon untuk mendapatkan kenikmatan yang bisa mengusir tingkat ketegangan dan kecemasannya.

Sampai titik ini mungkin pertanyaan bisa diajukan, apakah tertawa masih dianggap sehat dalam kondisi seperti ini? Para psikolog bisa berdebat apakah hal ini wajar atau di luar kewajaran, apakah hal ini masih dalam toleransi kriteria sehat atau tidak.

Masih kata psikoanalisa, kecemasan batin seseorang juga bisa berwujud tindakan membela diri (ego defense mechanism) untuk mengatasinya. Pembelaan terhadap diri ini bisa berbentuk meluhurkan sesuatu (sublimation), penekanan terhadapnya (repression), mencari kambing hitam (projection), membalas kemarahan kepada obyek yang lebih lemah dari dirinya (displacement), tindakan membenarkan diri (rationalization), bertindak yang sebaliknya (reaction formation), dan dengan mengarahkan suasana batin kembali ke masa kanak-kanak yang penuh kesenangan (regression) (Hjelle dan Ziegler 1981:47-50).

Ketika interpelasi diajukan oleh para anggota DPR untuk meminta keterangan mengapa Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN Laksamana Sukardi dan Menperindag Jusuf Kalla diberhentikan dari jabatan mereka, Gus Dur tetap bertahan membela diri. Alih-alih menjawab pertanyaan sejumlah anggota DPR tersebut, ia justru mengatakan tak ada dalam undang-undang ketentuan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Tindakan ini bisa ditafsirkan sebagai strategi pengambinghitaman (projection) Gus Dur terhadap konstitusi untuk keluar dari jerat pemberhentian itu. Yang sinis kepada Gus Dur karena tindakannya ini mengatakan, tidak terlalu sulit untuk menafsirkan undang-undang. Yang diperlukan “hanya” sedikit kemampuan pokrol bambu dan rajin membaca undang-undang. Bila tak tercantum, tinggal bilang inkonstitusional. Yang salah adalah undang-undang, dan selesai.

Tapi, seperti banyak dipercakapkan oleh masyarakat, esensi interpelasi itu adalah suatu “latihan” untuk memberdayakan DPR yang telah sekian lama dibungkam, seperti cita-cita Gus Dur sendiri. Dan dalam sejarah ketatanegeraan kita, mungkin baru pertama kali ini hak interpelasi digunakan.

Pesan interpelasi lainnya adalah untuk mengingatkan presiden agar tidak semaunya sendiri dalam mengurus negara, apalagi jika bertindak berdasarkan bukti yang belum jelas kebenarannya. Tuduhan KKN terhadap kedua menteri itu sampai dilangsungkannya interpelasi tidak juga dibeberkan. Banyak yang berharap mestinya Gus Dur berani memelopori sikap transparan dalam setiap tindakannya karena kini dia adalah tumpuan harapan seluruh rakyat Indonesia untuk keluar dari sikap semena-mena dan ketertutupan rezim Orde Baru.

Tafsir lain pemberhentian kedua menteri ini bisa juga diartikan sebagai tindakan Gus Dur membalas kemarahan kepada obyek yang lebih lemah darinya (displacement) untuk mengatasi kecemasan, akibat dari setiap saat rapornya diperiksa dan dipercakapkan masyarakat. Setelah segala jerih-payahnya untuk mendongkrak kinerja pemerintahannya terutama untuk keluar dari krisis ekonomi tak juga menampakkan hasil, kecemasan itu lalu memakan korban dua menteri itu.

Presiden memiliki hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menterinya. Di mata Presiden Gus Dur, kedua menteri itu adalah obyek yang lemah, yang bisa dipersalahkan meskipun dengan alasan yang tidak jelas.

Mungkin siasat yang paling banyak digunakan para politisi dalam menutupi kekurangannya adalah dengan mencari dalih atau pembenaran terhadap dirinya (rationalization). Mereka adalah korban sindrom “anggur masam” yang berasal dari kisah dalam dunia binatang (fabel). Diceritakan bahwa seekor serigala menginginkan anggur, tetapi karena tak bisa dicapai karena pohonnya terlalu tinggi, lalu ia mengatakan anggur itu rasanya masam.

Gus Dur dengan cerdik memanfaatkan celah sensitivitas persoalan pemecatan kedua menteri itu dengan mengatakan bahwa itu tak pantas dibeberkan di muka umum. Yang salah bukanlah dirinya yang tak mau membeberkan alasan pemecatan kedua menteri itu, tetapi persoalan itulah yang dianggap terlalu sensitif. Langkah pembenaran diri seperti ini telah banyak dikritik, termasuk oleh Ketua MPR Amien Rais, karena dianggap sebagai kemunduran reformasi yang menjunjung tinggi transparansi pengelolaan negara.

Di bagian lain pemikirannya, Freud juga merumuskan suatu susunan kejiwaan tiga tahap, yakni id, ego dan superego. Id bisa digambarkan sebagai sifat asli manusia yang terbawa sejak lahir, yang berkecenderungan menyerupai insting hewani tanpa mengindahkan adanya aturan. Ego adalah sifat yang mengorientasikan diri kepada realitas kehidupan dengan berusaha berinteraksi dengan dunia sekeliling. Sementara superego adalah tahap tertinggi sifat manusia yang terdiri dari kualitas-kualitas moral yang diakui secara konvensional (Hjelle dan Ziegler 1981:33-36; Engler 1995:49-53).

Bagian terbesar dari pembentukan ketiga tahap kejiwaan itu ditentukan oleh ketidaksadaran (unconscious), yakni sisi batin yang terdiri dari hasrat-hasrat dan konflik-konflik yang tak diinginkan yang terpendam di bawah sadar. Sedangkan sisanya adalah kesadaran (conscious), yakni bagian batin manusia yang terdiri dari pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang disadari setiap saat.

Banyak pengamat melihat tipe kepemimpinan Gus Dur sebagai jurus “pendekar mabuk” karena banyaknya tindak-tanduknya yang tak terpahami dan menimbulkan kontroversi. Bagi sebagian pendukungnya yang masih menganut kepercayaan tradisional, ini merupakan bagian dari sifat kewaliannya yang tak terjangkau oleh kalangan awam. Tapi bagi pengamat tadi yang menggunakan tolok ukur rasional, mungkin sifat Gus Dur ini, dalam pemikiran psikoanalisa, bisa dikategorikan sebagai mendekati id yang tak taat aturan.

Mungkinkah sifat id ini dikendalikan oleh bawah sadar Gus Dur? Bila ya, konflik-konflik apakah yang ada di bawah sadarnya? Untuk para psikolog, jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini kiranya penting, karena Gus menduduki peran sentral dalam membawa negeri ini menuju demokrasi.

Kontroversi dan persaingan politik tak kunjung habis dalam masa pemerintahan Gus Dur yang baru berjalan satu tahun. Hal ini tidak saja disebabkan oleh tingkat kemampuannya dalam mengelola negara, tetapi juga oleh kepribadiannya yang unik yang seringkali dipolitisasi oleh lawan-lawannya.

Pasca-pertemuan Yogya dan ST MPR merupakan babak baru untuk melihat bagaimana kepentingan politik di antara empat serangkai (Gus Dur-Amien-Mega-Akbar) dikelola. Setelah melalui politik “dagang sapi” yang alot, lalu kesepakatan pun dicapai bahwa Gus Dur harus mengakui sejumlah kelemahannya dan “memberikan tugas” pengelolaan administrasi negara sehari-hari kepada wakilnya Megawati.

“Pemberian tugas” ini bagi faksi yang ingin menurunkan Gus Dur merupakan tahap awal untuk mengurangi peran sentralnya, yang bisa ditafsirkan dalam bentuk lain, yakni “pengalihan wewenang.” Tetapi semantik dimanipulasi, dan yang ditonjolkan adalah eufemisme untuk sekadar ewuh-pakewuh kepada Gus Dur.

Kini hal ini terbukti dengan vokalnya kembali suara untuk menuntut Gus Dur turun sejak akhir Oktober lalu. Penabuh genderang perang pertama tentu saja “kawan dan lawan politiknya”, Ketua MPR Amien Rais. Bagai bola salju wacana ini menggelinding. Penerima lemparan bola pertama adalah ekonom Sjahrir, lalu Faisal Basri dari PAN. Sebagian mahasiswa, terutama HMI, antusias mendengar tuntutan mundur itu.

Gus Dur tak kalah sengit menanggapi tuntutan itu. Kalau tidak mau mundur, mau apa, gertaknya. Amien Rais dalam Pertemuan Mahasiswa Indonesia Sedunia di Luar Negeri yang diadakan di Chicago, AS baru-baru ini menyatakan siap mundur bila ada jaminan Gus Dur rela berhenti dari jabatannya.

Kecil kemungkinan Gus Dur rela untuk mundur paling tidak karena dua alasan. Pertama, karena kepribadian Gus Dur yang keras kepala seperti ditunjukkan oleh teori Psikoanalisa di atas. Alih-alih mengakui kesalahan sendiri, Gus Dur justru mencari kambing hitam. Kedua, karena rupanya Gus Dur sedang mulai menikmati kekuasaannya. Asumsi ini terbukti dengan maraknya KKN gaya baru yang dikembangkan oleh pemerintahan dan kroni-kroninya.

Tindakan Gus Dur ini adalah isyarat buruk bagi pemulihan ekonomi dan perbaikan nilai rupiah. Lalu, apa kabar reformasi? Ia mati suri, kata pengamat Eep Saifulloh Fatah di Pertemuan Chicago. Hidup tidak, mati pun belum jelas.
###

1 comment:

  1. thanks bu yani artikel nya sippp sekali. membantu tugas saya. oh iya kalo boleh tanya, psikoanalisa yg id, ego super ego kalo untuk gus dur gmn ya bu? mohon bantuannya :)

    ReplyDelete

Thanks for visiting my blog.